Purwakarta, - Di sebuah kampung di Desa Selaawi, atau tepatnya di Kampung Parapatan, RT18 RW09, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, tinggallah Habibi, bocah berusia 6 tahun yang hidupnya penuh perjuangan.
Sejak usia 8 bulan, ia didiagnosis mengidap hidrosefalus, penyakit yang menyebabkan penumpukan cairan di dalam otak. Perjuangan orang tuanya merawat Habibi sungguh luar biasa. Mereka bolak-balik ke RS Hasan Sadikin, bahkan sempat menjalani perawatan intensif dari usia dua bulan. Di usia 1 tahun, Habibi menjalani operasi, selama 3 kali operasi selama dua tahun, operasi terakhir ada pemasangan benda asing (selang) dari kepala hingga perut. Habibi juga telah menjalani operasi, dan pengobatan rutin dilakukan hingga saat ini.
Namun, sayang, semua upaya tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan. Kondisi Habibi tak kunjung membaik. Operasi yang dijalani justru tak memberikan dampak positif. Justru sebaliknya, Habibi menjadi hiperaktif dan emosinya sulit dikendalikan.
Ia sering kabur dari rumah, berlari dengan kecepatan luar biasa, melempar benda-benda, dan tidak mengenal bahaya. Televisi sudah hancur, jendela rumah pernah didobraknya, dan ia kerap melarikan diri. Bahkan, ketika mendengar orang menangis, Habibi justru semakin berontak. Kekuatan fisiknya pun seperti anak yang jauh lebih besar usianya.
Di tengah keterbatasan dan kepiluan ini, orang tua Habibi menunjukkan kegigihan luar biasa. Mereka tak pernah menyerah dalam merawat dan mencari pengobatan terbaik untuk anaknya. Meskipun lelah fisik dan mental, mereka tetap teguh menjaga Habibi. Mereka telah berupaya menciptakan lingkungan rumah yang seaman mungkin, dengan mengamankan benda-benda tajam dan rapuh.
Orang tua dan kerabatnya juga bergantian menjaga Habibi siang dan malam, mencoba berbagai cara untuk menenangkannya. Kadang mereka mencoba membacakan dongeng, menyanyikan lagu-lagu anak, atau mengajaknya bermain dengan mainan kesayangannya. Mereka juga mencoba memberikan sentuhan fisik yang menenangkan, seperti mengelus rambut atau memeluk Habibi dengan lembut.
Namun, seringkali usaha mereka sia-sia, karena Habibi sulit dikendalikan saat emosinya memuncak. Penggunaan ikatan pun dilakukan sebagai upaya terakhir, bukan sebagai bentuk kekerasan, melainkan sebagai langkah untuk mencegah Habibi melukai dirinya sendiri atau orang lain. Pasangan dari Mustakim (61), Idoh (43), diikat tidak setiap hari, hanya ketika sedang darurat emosi dari Habibi sedang tinggi. Suaminya saat ini sakit stroke ringan, jadi Idoh juga harus mengurus anak dan suami yang sakit.
Orang tuanya juga aktif mencari informasi dan dukungan dari berbagai pihak, berharap menemukan solusi terbaik untuk kondisi Habibi. Meskipun beban yang mereka tanggung sangat berat, cinta dan kasih sayang mereka kepada Habibi tetap tak tergoyahkan.
Inilah yang membuat orang tua Habibi terpaksa mengambil keputusan berat: mengikat Habibi. Bukan karena kejam, melainkan karena kondisi Habibi yang sangat mengkhawatirkan. Semua ini dilakukan sebagai upaya terakhir untuk melindungi Habibi dan lingkungan sekitarnya. Orang tuanya, yang memiliki BPJS dan rutin membawa Habibi berobat, telah berusaha semaksimal mungkin. Namun, mereka membutuhkan bantuan lebih banyak lagi.
Kisah Habibi menyayat hati. Ia membutuhkan uluran tangan dari siapa pun yang peduli untuk membantu meringankan beban penyakitnya. Semoga ada keajaiban yang datang untuk Habibi, bocah kecil yang semangat hidupnya patut diacungi jempol. Mari kita doakan kesembuhannya dan bantu meringankan beban orang tuanya.
M Hamzah